PAO

Minggu, 07 Oktober 2012

Generasi Muda Islam dalam Konstelasi Politik Indonesia



M. Rusli Karim, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, (Penerbit Mizan, Bandung, 1997), 242 halaman.

KONFLIK kepentingan antara golongan Islam dan Nasional-Sekular di Indonesia tampaknya sudah mulai bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, dan sangat terasa ketika dalam proses perumusan bentuk dan dasar negara. Golongan Islam menghendaki bentuk negara yang menggunakan dasar Islam, sementara golongan Nasional-Sekuler menghendaki negara nasionalis, atau memisahkan agama dan negara. Perdebatan tentang bentuk dan dasar negara ini akhirnya dimenangkan golongan Nasional-Sekuler dengan digunakannya UUD 1945 serta tidak dipakainya Piagam Djakarta.

Namun ini bukan berarti bahwa pertentangan kedua golongan tersebut berakhir. Pertentangan ideologi tetap terus berlangsung dan peristiwa-peristiwa seperti pemberontakan DI/TII dan PRRI Permesta yang melibatkan tokoh-tokoh Islam, telah menjadikan pemerintah curiga terhadap umat Islam. Ada semacam "Islamo-fobi" yang membuat gerak politik Islam menjadi terbatas (hlm. 88). Pertanyaannya adalah apakah munculnya HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) merupakan kelanjutan dari pertentangan kedua golongan di atas?

Buku yang ditulis M. Rusli Karim ini menguraikan proses keterlibatan kelompok Islam dalam politik Indonesia yang mencita-citakan berdirinya negara dengan dasar Islam hingga digunakannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi politik (orpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). HMI yang berdiri sejak masa revolusi, telah terkena imbas dari kebijakan pemerintah tentang asas tunggal tersebut. Timbullah kemelut di dalam tubuh HMI hingga akhirnya muncul dua kelompok, yaitu HMI (Dipo) dan HMI MPO.

SEMULA buku HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia ini merupakan tesis M. Rusli Karim untuk meraih gelar MA dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Ada enam bab di dalamnya, yaitu Bab I: Pendahuluan, Bab II: Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Bab III: Aspirasi Politik Umat Islam Indonesia, Bab IV: Peranan HMI Dalam Era Orde Baru, Bab V: HMI MPO Dalam Konstelasi Arus Modernisasi Politik Indonesia, dan Bab VI: Kesimpulan.

HMI didirikan pada 5 Februari 1947 oleh Lafran Pane dan kawan-kawan di Yogyakarta yang dilatarbelakangi oleh tiga tantangan. Yaitu pertama, situasi bangsa Indonesia yang sedang mengalami masa revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Kedua, situasi dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan yang tidak bersatu dalam memandang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Dan ketiga, situasi umat Islam yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta kemiskinan dan kebodohan (hal. 98).

Pada akhir masa Orde Lama atau menjelang kelahiran Orde Baru, hubungan antara Islam dan militer dapat terjalin dengan baik. Keadaan ini digunakan untuk mengimbangi kekuatan komunis sehingga kerja sama antara militer, mahasiswa, dan Islam merupakan kekuatan besar dalam menumpas PKI yang selanjutnya lahirlah Orde Baru (hlm. 106-107). Namun hubungan yang baik itu tidak menjadi lebih baik ketika pemerintah Orde Baru yang berkuasa menolak untuk memberikan kekuasaan lebih besar kepada kekuatan Islam (hlm. 118).

Hal ini mencapai puncaknya ketika pemerintah melalui pidato kenegaraan Presiden Soeharto dalam sidang DPR 16 Agustus 1982 menyampaikan gagasan untuk menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi orpol dan ormas. Karena, menurut Presiden, kerusuhan dalam kampanye Pemilu 1982 di Jakarta disebabkan oleh fanatisme golongan, sedangkan fanatisme golongan timbul karena perbedaan ideologi masyarakat. Sehingga ideologi-ideologi itu perlu diganti dengan satu-satunya asas, yaitu Pancasila (hlm. 121).

Menanggapi sikap pemerintah tentang pergantian dasar ormas dan orpol dengan asas Pancasila ini, umat Islam memunculkan empat sikap. Pertama, menerima tanpa banyak persoalan seperti misalnya yang dilakukan oleh NU dan kelompok-kelompok lain yang punya hubungan dengan pemerintah atau partai pemerintah. Alasan mereka adalah bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Kedua, mau menerima tapi menunggu adanya undang-undang formal yang dibuat pemerintah. Kebanyakan ormas Islam mengambil sikap ini, termasuk Muhammadiyah. Ketiga, bersikap apatis yaitu selalu mendukung pemerintah. Sikap ini banyak dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah. Dan keempat, menolak sama sekali, yaitu HMI MPO, PII (Pemuda Pelajar Indonesia) dan Gerakan Pemuda Marhaenis (hlm. 127).

Munculnya HMI MPO merupakan reaksi atas sikap PB HMI yang telah mengubah pasal 5 Anggaran Dasar HMI menjadi berasaskan Pancasila tanpa melalui forum kongres (hlm. 130-131). Di samping faktor internal itu, menurut M. Rusli Karim, ada faktor eksternal yang ikut menyebabkan berdirinya HMI MPO yaitu tekanan pemerintah yang membuat umat Islam "berkelahi" di antara sesamanya (hlm. 132). Perkembangan selanjutnya HMI MPO menjadi gerakan bawah tanah sehingga mengalami kesulitan gerak. Dan kini telah terjadi pergeseran orientasi dari perjuangan politik Islam ke gerakan intelektual (hlm. 147) dan bersifat lebih terbuka.

Pada dekade 1990-an terjadi perubahan sikap pemerintah dalam menangani masalah keislaman yang mempunyai implikasi sangat penting bagi proses modernisasi itu sendiri dan lebih mengakomodasikan kepentingan Islam. Kemudian dalam kesimpulannya, penulis memaparkan dua aspek yang perlu diperhatikan berkenaan dengan keberadaan HMI MPO. Yaitu pertama, bahwa perubahan sikap pemerintah terhadap Islam yang mempunyai umat mayoritas di Indonesia telah menjadikan berbagai aspirasi dan kepentingan Islam lebih terakomodasi, jangan sampai ditepikan kembali oleh pemerintah mana pun yang berkuasa. Maka keberadaan HMI MPO, dengan melihat kepentingan perjuangan Islam secara makro, perlu ditinjau kembali. Kedua, dalam batas-batas tertentu keberadaan HMI MPO menunjukkan giatnya aktivitas pembaharuan pemikiran keagamaan di kalangan generasi muda. Maka kegiatan pemikiran agama perlu lebih digalakkan, terutama dalam konteks pembangunan politik agar makin memperhatikan kepentingan rakyat umum (hlm. 177-178).

Sebagai sebuah buku yang banyak menguraikan fakta sejarah, uraian jelas yang disampaikan oleh buku karya M. Rusli Karim ini bisa menambah wacana gerakan generasi muda Islam dalam konstelasi politik Indonesia.

(*Andi Wahyudi, mahasiswa Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Sumber: Kompas, 2 Mei 1997
Posting : Hilmi Husada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar