M. Rusli Karim, HMI
MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, (Penerbit Mizan, Bandung,
1997), 242 halaman.
KONFLIK kepentingan
antara golongan Islam dan Nasional-Sekular di Indonesia tampaknya sudah mulai
bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, dan sangat terasa ketika dalam proses
perumusan bentuk dan dasar negara. Golongan Islam menghendaki bentuk negara
yang menggunakan dasar Islam, sementara golongan Nasional-Sekuler menghendaki
negara nasionalis, atau memisahkan agama dan negara. Perdebatan tentang bentuk
dan dasar negara ini akhirnya dimenangkan golongan Nasional-Sekuler dengan
digunakannya UUD 1945 serta tidak dipakainya Piagam Djakarta.
Namun ini bukan
berarti bahwa pertentangan kedua golongan tersebut berakhir. Pertentangan
ideologi tetap terus berlangsung dan peristiwa-peristiwa seperti pemberontakan
DI/TII dan PRRI Permesta yang melibatkan tokoh-tokoh Islam, telah menjadikan
pemerintah curiga terhadap umat Islam. Ada semacam "Islamo-fobi" yang
membuat gerak politik Islam menjadi terbatas (hlm. 88). Pertanyaannya adalah
apakah munculnya HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat
Organisasi) merupakan kelanjutan dari pertentangan kedua golongan di atas?
Buku yang ditulis M.
Rusli Karim ini menguraikan proses keterlibatan kelompok Islam dalam politik
Indonesia yang mencita-citakan berdirinya negara dengan dasar Islam hingga
digunakannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi politik
(orpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). HMI yang berdiri sejak masa
revolusi, telah terkena imbas dari kebijakan pemerintah tentang asas tunggal
tersebut. Timbullah kemelut di dalam tubuh HMI hingga akhirnya muncul dua
kelompok, yaitu HMI (Dipo) dan HMI MPO.
SEMULA buku HMI MPO
dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia ini merupakan tesis M. Rusli
Karim untuk meraih gelar MA dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Ada enam bab
di dalamnya, yaitu Bab I: Pendahuluan, Bab II: Agama, Modernisasi dan Sekularisasi,
Bab III: Aspirasi Politik Umat Islam Indonesia, Bab IV: Peranan HMI Dalam Era
Orde Baru, Bab V: HMI MPO Dalam Konstelasi Arus Modernisasi Politik Indonesia,
dan Bab VI: Kesimpulan.
HMI didirikan pada 5
Februari 1947 oleh Lafran Pane dan kawan-kawan di Yogyakarta yang
dilatarbelakangi oleh tiga tantangan. Yaitu pertama, situasi bangsa Indonesia
yang sedang mengalami masa revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Kedua,
situasi dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan yang tidak bersatu dalam memandang
ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum. Dan ketiga, situasi umat
Islam yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta
kemiskinan dan kebodohan (hal. 98).
Pada akhir masa Orde
Lama atau menjelang kelahiran Orde Baru, hubungan antara Islam dan militer
dapat terjalin dengan baik. Keadaan ini digunakan untuk mengimbangi kekuatan
komunis sehingga kerja sama antara militer, mahasiswa, dan Islam merupakan
kekuatan besar dalam menumpas PKI yang selanjutnya lahirlah Orde Baru (hlm.
106-107). Namun hubungan yang baik itu tidak menjadi lebih baik ketika
pemerintah Orde Baru yang berkuasa menolak untuk memberikan kekuasaan lebih
besar kepada kekuatan Islam (hlm. 118).
Hal ini mencapai
puncaknya ketika pemerintah melalui pidato kenegaraan Presiden Soeharto dalam
sidang DPR 16 Agustus 1982 menyampaikan gagasan untuk menerapkan Pancasila
sebagai satu-satunya asas bagi orpol dan ormas. Karena, menurut Presiden,
kerusuhan dalam kampanye Pemilu 1982 di Jakarta disebabkan oleh fanatisme
golongan, sedangkan fanatisme golongan timbul karena perbedaan ideologi
masyarakat. Sehingga ideologi-ideologi itu perlu diganti dengan satu-satunya
asas, yaitu Pancasila (hlm. 121).
Menanggapi sikap
pemerintah tentang pergantian dasar ormas dan orpol dengan asas Pancasila ini,
umat Islam memunculkan empat sikap. Pertama, menerima tanpa banyak persoalan
seperti misalnya yang dilakukan oleh NU dan kelompok-kelompok lain yang punya
hubungan dengan pemerintah atau partai pemerintah. Alasan mereka adalah bahwa
Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Kedua, mau menerima tapi menunggu
adanya undang-undang formal yang dibuat pemerintah. Kebanyakan ormas Islam
mengambil sikap ini, termasuk Muhammadiyah. Ketiga, bersikap apatis yaitu
selalu mendukung pemerintah. Sikap ini banyak dilakukan oleh mereka yang
berpendidikan rendah. Dan keempat, menolak sama sekali, yaitu HMI MPO, PII
(Pemuda Pelajar Indonesia) dan Gerakan Pemuda Marhaenis (hlm. 127).
Munculnya HMI MPO
merupakan reaksi atas sikap PB HMI yang telah mengubah pasal 5 Anggaran Dasar
HMI menjadi berasaskan Pancasila tanpa melalui forum kongres (hlm. 130-131). Di
samping faktor internal itu, menurut M. Rusli Karim, ada faktor eksternal yang
ikut menyebabkan berdirinya HMI MPO yaitu tekanan pemerintah yang membuat umat
Islam "berkelahi" di antara sesamanya (hlm. 132). Perkembangan
selanjutnya HMI MPO menjadi gerakan bawah tanah sehingga mengalami kesulitan
gerak. Dan kini telah terjadi pergeseran orientasi dari perjuangan politik
Islam ke gerakan intelektual (hlm. 147) dan bersifat lebih terbuka.
Pada
dekade 1990-an terjadi perubahan sikap pemerintah dalam menangani masalah
keislaman yang mempunyai implikasi sangat penting bagi proses modernisasi itu
sendiri dan lebih mengakomodasikan kepentingan Islam. Kemudian dalam
kesimpulannya, penulis memaparkan dua aspek yang perlu diperhatikan berkenaan
dengan keberadaan HMI MPO. Yaitu pertama, bahwa perubahan sikap pemerintah
terhadap Islam yang mempunyai umat mayoritas di Indonesia telah menjadikan
berbagai aspirasi dan kepentingan Islam lebih terakomodasi, jangan sampai
ditepikan kembali oleh pemerintah mana pun yang berkuasa. Maka keberadaan HMI
MPO, dengan melihat kepentingan perjuangan Islam secara makro, perlu ditinjau
kembali. Kedua, dalam batas-batas tertentu keberadaan HMI MPO menunjukkan
giatnya aktivitas pembaharuan pemikiran keagamaan di kalangan generasi muda.
Maka kegiatan pemikiran agama perlu lebih digalakkan, terutama dalam konteks
pembangunan politik agar makin memperhatikan kepentingan rakyat umum (hlm.
177-178).
Sebagai sebuah buku
yang banyak menguraikan fakta sejarah, uraian jelas yang disampaikan oleh buku
karya M. Rusli Karim ini bisa menambah wacana gerakan generasi muda Islam dalam
konstelasi politik Indonesia.
(*Andi Wahyudi,
mahasiswa Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Sumber: Kompas, 2
Mei 1997
Posting : Hilmi
Husada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar