Mengadili UU Informasi
dan Transaksi Elektronik:
“Pemaparan Perkara -
Perkara Penghinaan Terkait
Dengan Penggunaan
Teknologi Informasi”
Pengaturan
tentang penghinaan, telah dikenal sejak 500 Sebelum Masehi, ditandai dengan
adanya rumusan “twelve tables”, di era Romawi Kuno. Ketentuan ini
seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan
hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga pada era kekaisaran Agustinus (63 SM)
peradilan kasus penghinaan terus meningkat secara signifikan. Kemudian, secara
turun temurun pengaturan itu diwariskan kepada beberapa sistem hukum di negara
lain. Secara harfiah, penghinaan atau defamation berarti sebuah tindakan
yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. Dalam KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), setidaknya dikenal tiga jenis tindak pidana
terkait dengan penghinaan, yaitu pencemaran nama baik (Pasal 310), fitnah
(Pasal 311), dan penghinaan ringan (Pasal 315). Pasal-pasal tersebut mengatur
pula sanksi pidana atas tindak pidananya.
Disamping itu
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) juga mengatur tentang pencemaran nama
baik. Hukum berkembang seiring perkembangan masyarakatnya. Dalam perkembangan
dunia hukum di Indonesia, tentang pengaturan pidana penghinaan, terus
berkembang. Bahkan “pesat”. Dalam catatan ICJR, setidaknya terdapat lima produk
legislative yang mengatur (ulang) pidana penghinaan. Mulai dari undang-undang
penyiaran – UU No 32 tahun 2002, Undang-undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu,
Undang-undang No. 42 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Lahirnya
seperangkat undang-undang tersebut telah mengakibatkan terjadinya reduplikasi
pengaturan penghinaan. Tumpang tindih pengaturan tersebut menjadi tidak efektif
dalam implementasi produk hukum ini. Pemidanaan sendiri salah satunya memiliki
tujuan untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat dengan rumusan mencegah
terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Namun
begitu, dalam praktek hukum, kita mengenal istilah ultimum remidium,
yang mendalilkan bahwa hukum pidana merupakan sarana terakhir dalam menentukan
perbuatan apa saja yang harus dikriminalisasi. Jika dalil ini “tetap dijaga”
oleh “para penjaganya”, maka over criminalization dapat terhindarkan. Dalam
paparan ini kita bisa melihat, setidaknya terdapat 12 (dua belas) kasus terkait
pidana penghinaan yang diatur oleh UU ITE, yang berproses di pengadilan. Ini merupakan
jumlah yang besar. Padahal, sebagaimana dipaparkan, tidak terdapat alasan yang
sahih mengapa ancaman pidana 6 tahun penjara dikenakan pada tindak pidana yang
diatur dalam pasal 27 UU ITE, “situasi” itu menjadi kekacauan hukum tersendiri.
Oleh karena itu,
ICJR sebagaimana mandat kerjanya, terus menyuarakan penghapusan pidana
penghinaan melalui kerja-kerja advokasi non litigasi. Dalam kasus ini, untuk
mengupayakan
meminimalisir disharmonisasi peraturan perundang-undangan, ICJR juga
menyerukan, agar
para pemangku kepentingan terkait dapat menyatukan pengaturan
pidana
penghinaan yang tersebar di luar KUHP. Briefing paper ini, merupakan
catatan ICJR atas perkembangan hukum pidana penghinaan di Indonesia. Monitoring
dan riset kecil ini merupakan bagian dari kerja ICJR dalam kerja Reformasi
Defamasi di Indonesia yang telah dilakukan oleh ICJR sejak 2008 hingga kini.
Semoga apa yang menjadi rekomendasi riset kecil ini, mendapat respon positif
dari para pemangku kepentingan terkait, dengan tindaklanjut konkrit. Akhir
kata, terima kasih kami ucapkan kepada Yayasan TIFA, yang telah mendukung kerja
ICJR, dalam kerja Reformasi Defamasi di Indonesia. Terima kasih juga kami sampaikan
kepada para pihak yang telah membantu riset kecil ini.
Kritik dan saran
yang membangun, sangat terbuka untuk kami tampung dan
tindaklanjuti.
Semoga briefing paper ini bermanfaat bagi perbaikan (reform) dunia
hukum, khususnya
hukum pidana penghinaan di Indonesia.
Posting : Hilmi
Husada
Sumber :Institute
for Criminal Justice Reform
Jakarta, Oktober 2012