PAO

Rabu, 02 Januari 2013

Mengadili UU Informasi dan Transaksi Elektronik:

Mengadili UU Informasi dan Transaksi Elektronik:
“Pemaparan Perkara - Perkara Penghinaan Terkait
Dengan Penggunaan Teknologi Informasi”

Pengaturan tentang penghinaan, telah dikenal sejak 500 Sebelum Masehi, ditandai dengan adanya rumusan “twelve tables”, di era Romawi Kuno. Ketentuan ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga pada era kekaisaran Agustinus (63 SM) peradilan kasus penghinaan terus meningkat secara signifikan. Kemudian, secara turun temurun pengaturan itu diwariskan kepada beberapa sistem hukum di negara lain. Secara harfiah, penghinaan atau defamation berarti sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), setidaknya dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan penghinaan, yaitu pencemaran nama baik (Pasal 310), fitnah (Pasal 311), dan penghinaan ringan (Pasal 315). Pasal-pasal tersebut mengatur pula sanksi pidana atas tindak pidananya.
Disamping itu Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) juga mengatur tentang pencemaran nama baik. Hukum berkembang seiring perkembangan masyarakatnya. Dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia, tentang pengaturan pidana penghinaan, terus berkembang. Bahkan “pesat”. Dalam catatan ICJR, setidaknya terdapat lima produk legislative yang mengatur (ulang) pidana penghinaan. Mulai dari undang-undang penyiaran – UU No 32 tahun 2002, Undang-undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, Undang-undang No. 42 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Lahirnya seperangkat undang-undang tersebut telah mengakibatkan terjadinya reduplikasi pengaturan penghinaan. Tumpang tindih pengaturan tersebut menjadi tidak efektif dalam implementasi produk hukum ini. Pemidanaan sendiri salah satunya memiliki tujuan untuk melakukan perlindungan terhadap masyarakat dengan rumusan mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Namun begitu, dalam praktek hukum, kita mengenal istilah ultimum remidium, yang mendalilkan bahwa hukum pidana merupakan sarana terakhir dalam menentukan perbuatan apa saja yang harus dikriminalisasi. Jika dalil ini “tetap dijaga” oleh “para penjaganya”, maka over criminalization dapat terhindarkan. Dalam paparan ini kita bisa melihat, setidaknya terdapat 12 (dua belas) kasus terkait pidana penghinaan yang diatur oleh UU ITE, yang berproses di pengadilan. Ini merupakan jumlah yang besar. Padahal, sebagaimana dipaparkan, tidak terdapat alasan yang sahih mengapa ancaman pidana 6 tahun penjara dikenakan pada tindak pidana yang diatur dalam pasal 27 UU ITE, “situasi” itu menjadi kekacauan hukum tersendiri.
Oleh karena itu, ICJR sebagaimana mandat kerjanya, terus menyuarakan penghapusan pidana penghinaan melalui kerja-kerja advokasi non litigasi. Dalam kasus ini, untuk
mengupayakan meminimalisir disharmonisasi peraturan perundang-undangan, ICJR juga
menyerukan, agar para pemangku kepentingan terkait dapat menyatukan pengaturan
pidana penghinaan yang tersebar di luar KUHP. Briefing paper ini, merupakan catatan ICJR atas perkembangan hukum pidana penghinaan di Indonesia. Monitoring dan riset kecil ini merupakan bagian dari kerja ICJR dalam kerja Reformasi Defamasi di Indonesia yang telah dilakukan oleh ICJR sejak 2008 hingga kini. Semoga apa yang menjadi rekomendasi riset kecil ini, mendapat respon positif dari para pemangku kepentingan terkait, dengan tindaklanjut konkrit. Akhir kata, terima kasih kami ucapkan kepada Yayasan TIFA, yang telah mendukung kerja ICJR, dalam kerja Reformasi Defamasi di Indonesia. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para pihak yang telah membantu riset kecil ini.
Kritik dan saran yang membangun, sangat terbuka untuk kami tampung dan
tindaklanjuti. Semoga briefing paper ini bermanfaat bagi perbaikan (reform) dunia
hukum, khususnya hukum pidana penghinaan di Indonesia.

Posting : Hilmi Husada
Sumber :Institute for Criminal Justice Reform
               Jakarta, Oktober 2012