PAO

Kamis, 22 November 2012

Organisasi sebagai Media Pembelajaran

Tantangan terbesar manajer saat ini adalah berkaitan dengan upaya untuk menghadapi lingkungan yang berubah dengan cepat. Inovasi dari penemuan-penemuan dalam bidang komunikasi dan dikombinasikan dengan penemuan dalam bidang komputer dan informasi menghasilkan pasar global yang membuat dunia tidak sebagaimana pada era sebelumnya. Sebagai hasil, prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman manajemen yang mampu membuat organisasi lebih stabil dan dapat diprediksi, tidak dapat lagi diterapkan dalam kurun waktu yang lama. Kesuksesan organisasi pada saat ini sangat tergantung pada kemampuan organisasi tersebut untuk belajar dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Manajer organisasi yang sukses adalah orang yang mampu secara efektif menggunakan kebijaksanaan, memenej organisasi dengan berbasis ilmu pengetahuan, dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan. Disinilah letak pentingnya organisasi pembelajar. Organisasi pembelajar adalah pengembangan kapasitas organisasi untuk terus belajar, beradaptasi dan berubah. Perbedaan antara organisasi pembelajar dengan organisasi tradisional disajikan sebagaimana tabel berikut.
 
Organisasi Tradisional
Organisasi Pembelajar
Sikap Terhadap Perubahan
Jika hal itu dapat dikerjakan, mengapa dirubah?
Jika kamu tidak berubah,kamu tidak akan bekerja dalam waktu yang lama
Sikap terhadap ide-ide baru
Tertutup dengan ide-ide baru dari luar
Terbuka dengan ide-ide baru dari luar
Penanggung jawab inovasi
Bagian Penelitian dan Pengembangan
Setiap orang didalam organisasi
Ketakutan Utama
Membuat kesalahan
Tidak belajar, tidak akan dapat beradaptasi
Daya saing
Produk dan Layanan
Kemampuan untuk belajar, ilmu pengetahuan dan keahlihan
Pekerjaan manajer
Mengontrol yang lain
Mengijinkan yang lain
 
Jika menilik dari berbagai kriteria tersebut organisasi pembelajar merupakan organisasi yang dinamis, organisasi yang mampu memberikan dorongan dan fasilitas kepada orang-orang di dalam organisasi untuk selalu meningkatkan kompetensinya. Namun demikian, untuk dapat menjadi organisasi pembelajar tersebut, organisasi harus mampu merubah cara pandangnya terhadap berbagai hal. Jika cara pandang tersebut tidak berubah maka akan sulit bagi organisasi untuk mampu berpindah dari konsep organisasi tradisional menuju organisasi pembelajar. Cara pandang yang harus dirubah tersebut meliputi;
Pertama, konsep tentang stabilitas organisasi, cara pandang ini adalah cara pandang dimana organisasi harus berjalan sesuai dengan proses yang telah direncanakan dan sedapat mungkin menghindari berbagai gejolak. Kondisi ini harus dirubah, bahwa organisasi harus selalu dinamis, karena perkembangan eksternal yang cepat dan seringkali sulit diprediksikan, oleh karena itu organisasi harus mampu berubah dengan cepat dalam berbagai proses kegiatannya.
Kedua, konsep tentang Birokrasi yang berjenjang, cara pandang ini merujuk bahwa organisasi harus memiliki stabilitas, oleh karena itu pemimpin merupakan komando utama dalam organisasi, sehingga seluruh kegiatan dapat dikendalikan dengan mudah. Konsep ini akan sangat berat dan tidak lincah untuk menhadapi perubahan yang sangat cepat. Organisasi harus merubah konsep menjadi kepemimpinan bagi semua orang. Artinya bahwa semua orang didalam organisasi diberikan keleluasaan untuk mengambil inisiatif dan bergerak menyelesaikan pekerjaan yang menjadi lingkup dan tanggung jawabnya tanpa harus menunggu perintah.
Ketiga, organisasi yang kaku, cara pandang ini merupakan cara pandang yang mengedepankan keamanan dan kesetabilan, untuk dapat aman dan stabil maka dibuatlah prosedur organisasi yang berjenjang dan kaku sesuai dengan prosedur yang ada. Kaku disini dalam artian harus mengikuti prosedur yang ada, walaupun secara esensial tidak sesuai denga esensi yang ingin dicapai, atau tidak sesuai dengan harapan dari stekholder yang berkembang dengan cepat. Kondisi ini tentu akan menghancurkan organisasi, untuk itu organisasi harus bergeser menjadi lebih fleksibel dalam prosedur, lebih menitik beratkan pada hal yang esensial, dan lebih memetingkan pencapaian harapan stakeholder.
Keempat, pengendalian melalui aturan harus dirubah menjadi pengendalian melalui visi dan value. Pengendalian melalui aturan mengindikasikan bahwa organisasi tersebut menjalankan organisasinya melalui pengawasan-pengawasan eksternal. Pengawasan-pengawasan yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa para pekerja tidak memiliki keinginan sendiri untuk bekerja dengan baik atau para pekerja tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang pentingnya mencapai visi organisasi. Kondisi ini tentu akan memerlukan tenaga yang besar bagi organisasi, menyediakan tenaga pengawas untuk mengawasi pekerjaan para pekerja, dan besarnya biaya kesalahan dari pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja. Model pengendalian seperti di atas harus dirubah menjadi pengendalian melalui visi dan value. Artinya, bahwa para pekerja harus memahami dengan baik visi dan terinternalisasi dengan baik nilai-nilai yang ada dalam organisasi. Untuk dapat mencapai hal tersebut, organisasi harus benar-benar memandang bahwa SDM adalah suatu aset yang sangat penting. Dengan pandangan tersebut maka SDM harus menjadi bagian penting organisasi, dengan harapan SDM akan memiliki pemahaman yang tinggi terhadap organisasinya dan menjalani kegiatan di organisasinya dengan dijiwai nilai-nilai. Perubahan ini penting, karena akan berdampak pada tingkat fleksibilitas organisasi, dan efisiensi organisasi. Jika seluruh karyawan paham dan memiliki komitmen untuk melaksanakan visinya maka produktifitas organisasi akan sangat tinggi. Nilai-nilai akan meningkatkan efisiensi organisasi dalam operasional organisasi, utamanya berkaitan dengan proses pengendalian, karena dengan terinternalisasinya nilai-nilai organanisasi pada seluruh karyawan, maka pengawasan tidak terlalu penting untuk dilakukan, karena para karyawan berkerja dengan dikendalikan oleh nilai-nilai yang ada dalam dirinya sendiri. Dan karena dalam bekerjanya karyawan dikendalikan oleh nilai-nilai yang ada dalam organisasi, maka kesalahan dalam bekerja akan menjadi kecil.
Kelima, organisasi harus merubah paradigmanya dari informasi yang tertutup dan dirahasikan menjadi organisasi melakukan sharing informasi. Organisasi tradisional sering kali beranggapan bahwa atasan harus lebih pandai daripada bawahan, oleh karena itu informasi hanya dimiliki oleh atasan sehingga bawahan hanya menerima informasi-informasi dari atasan. Selain itu seringkali pada organisasi tradisional, informasi dianggap akan dapat merusak kestabilan organisasi, oleh karena itu, organisasi harus membatasi informasi hanya bagi orang-orang tertentu saja. Model seperti ini harus berubah jika organisasi menginginkan untuk menjadi organisasi pembelajar. Pada organsasi pembelajar paradigma berfikirnya dibalik, bahwa seluruh karyawan harus pandai, oleh karena itu informasi harus disebarluaskan. Dengan bawahan yang pandai maka banyak pekerjaan bisa didistribusikan dan manajer dapat mencari atau mengembangkan atau menangani pekerjaan-pekerjaan baru atau pekerjaan-pekerjaan yang masih meiliki masalah. Dengan informasi yang terbagi juga diharapkan akan mampu mendorong kedinamisan organisasi, dan kemampuan semua orang dalam organisasi untuk membuat keputusan sesuai dengan kapasitasnya dalam organisasi.
Keenam, untuk masa-masa awal tahun 1900 sampai dengan 20 tahun yang lalu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang informasi dan komputer, belum secapat sebagaimana yang terjadi saat ini. Perubahan tersebut ternyata memicu pergerakan yang cepat pada ilingkungan eksternal organisasi. Dengan perkembangan ini ketidak pastian dalam kondisi semakin tinggi. Kondisi ini harus merubah paradigma organisasi dari hanya menerima yang pasti menjadi juga menerima sesuatu yang meragukan. Kondisi meragukan dalam artian belum tentu arah dan tujuannya. Dengan kondisi ini seringkali keputusan tidak dapat diambil, oleh karena itu manajer pada organisasi pembelajar harus memiliki kemampuan memprediksi yang bagus dan memiliki keberanian untuk menanggung resiko dari adanya kondisi yang tidak pasti tersebut.
Ketujuh, adalah kelanjutan dari paradigma keenam, karena ketidakpastian yang tinggi, paradigma organisasi harus bergeser dari reaktif menghindari resiko, menjadi proaktif dan berani menanggung resiko. Manajemen reaktif merupakan gaya manajemen tradisional yang hanya akan bergerak jika ada masalah, dan yang dilakukan adalah menghindari masalah. Manajemen pada organisasi pembelajar, mengerjakan sesuatu dengan terencana, pengambilan inisiatif menjadi hal yang paling diutamakan, oleh karena itu bagi orang yang proaktif, resiko adalah sesuatu yang harus dihadapi. Namun demikian, dengan inisiatif tersebut organisasi akan memiliki keunggulan kompetitif, karena ketika organisasi lain masih diam organisasi pembelajar sudah mengambil tindakan, mungkin ada kemungkinan salah, namun dengan kesalahannya orang akan lebih cepat mengetahui yang benar, dibandingkan menunggu dan diam.
Kedelapan, organisasi tradisional berfokus pada internal organisasi, kondisi ini sangat tidak sesuai jika digunakan untuk mengatasi berbagai persoalan yang berkembang pada saat ini. Organisasi yang berfokus pada internal, harus mampu berubah menjadi organisasi yang berfokus pada lingkungan kompetitif. Dengan berfokus pada lingkungan kompetitif, maka organisasi harus benar-benar mengetahui kebutuhan dan harapan stakeholder. Upaya untuk mengetahui kebutuhan dan harapan stakeholder ini menjadi sangat penting dalam upaya memenangkan persaingan dari para kompetitor lainnya.
Kesembilan, organisasi tradisional memiliki keunggulan dalam bertahan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa, organisasi tradisional kurang memiliki kemampuan dalam berinovasi, dan cenderung bersikap menunggu. Organisasi pembelajar, lebih bersifat inovatif dengan keunggulan kompetitif yang berubah-ubah. Hal tersebut karena organisasi pembelajar selalu mendorong SDMnya untuk melakukan proses belajar. Dengan belajar tersebut kemudian diharapkan akan mampu menemukan berbagai karya inovatif, yang pada akhirnya akan mampu mendorong organisasi untuk memiliki keunggulan kompetitif dengan fleksibilitas sesuai dengan perkembangan lingkungan eksternal.
Kesepuluh, organisasi harus mampu berubah dari bersaing pada pasar yang ada menuju persaingan ke masa depan yang kontemporer. Dengan berbagai inovasi yang dikembangkannya, organisasi pembelajar diharapkan mampu mengembangkan produk-produk baru dengan pasar yang berbeda. Dengan membuka pasar-pasar baru tersebut faktor ketatnya persaingan pada pasar konvensional dapat dihindarkan.
Kesepuluh faktor tersebut secara singkat dapat disajikan sebagaimana tabel berikut:

Nos
Konsep Organisasi Tradisional
Konsep Organisasi Pembelajar
1
Stabilitas
Perubahan yang tidak berkesudahan
2
Hirarkhis Birokratis
Kepemimpinan dari setiap orang
3
Organisasi yang kaku
Fleksibilitas
4
Pengendalian melalui aturan
Pengendalian melalui visi dan value
5
Informasi yang tertutup
Informasi yang disebarluaskan
6
Menerima hanya pada hal-hal yang pasti
Menerima keraguan
7
Reaktif dan menghindari resiko
Proaktif, dan keberanian menanggung resiko
8
Berfokus ke internal organisasi
Berfokus pada lingkungan kompetitif
9
Keunggulan bertahan
Keunggulan kompetitif yang berubah
10
Bersaing pada pasar yang ada
Bersaing pada pasar masa depan yang kontemporer

Organisasi Pembelajar pada Lembaga Pendidikan
Dalam kasus kondisi pendidikan di Indonesia, perubahan tersebut dapat dilihat pada berbagai hal, mulai dari kebijakan penyelenggaraan dari pemerintah, sampai dengan perubahan sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan sebagai akibat kebijakan pemerintah misalnya, perubahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi sehingga muncul model Manajemen Berbasis Madrasah (MBM), Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM). Perubahan pola pengelolaan, sehingga muncul Komite Madrasah, Dewan Pendidikan, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan, dan lain-lain. Perubahan yang berkaitan dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya perubahan dalam proses pembelajaran, sehingga menghasilkan teori pembelajaran quantum (quantum teaching/ learning), pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning). Perubahan dalam manajemen misalnya Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), penggunaan alat analisis Balance Scorecard, dan lain-lain.
Berbagai perubahan pada dekade terakhir ini digambarkan oleh banyak ahli manajemen sebagai suatu turbulent (angin kencang yang berubah arah), sehingga kondisi tersebut seringkali membawa korban. Dalam iklim makro organisasi yang sangat cepat mengalami perubahan tersebut, ditambah dengan iklim kompetisi antar organisasi yang semakin kuat menuntut organisasi apapun untuk selalu mampu mengalami perubahan dan persaingan. Lembaga pendidikan harus mampu berkompetisi dengan sesama, juga harus mampu berkompetisi dengan lembaga pendidikan lain, bahkan harus mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga kursus dan dunia kerja. Untuk mampu berkompetisi tersebut lembaga pendidikan harus mampu melihat berbagai kebutuhan dan harapan stakeholder. Namun sama dengan lembaga pendidikan yang lain stakeholder lembaga pendidikan bukanlah stakeholder tunggal, namun memiliki berbagai stakeholder, walaupun stakeholder-stakeholder tersebut masih dapat diurutkan tingkat kepotensialannya.
Upaya untuk selalu memenuhi kebutuhan dan harapan stakeholder inilah yang kemudian menuntut lembaga pendidikan untuk meningkakan mutu layanan dan produknya. Namun sayangnnya, kebutuhan dan harapan stakeholder bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat statis, namun bersifat dinamis, bahkan seringkali perubahannya berlangsung sangat cepat dan tidak berpola. Kondisi ini tentu akan sangat memukul lembaga pendidikan, jika lembaga pendidikan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan cepat. Dengan kata lain,untuk dapat selalu menjaga mutu produk dan layanannya lembaga pendidikan juga harus memiliki kemampuan untuk selalu berubah menyesuaikan diri dengan kondisi makro yang berkembang. Lembaga pendidikan yang memiliki kemampuan dan kelenturan untuk berubah tersebut hanya dapat dicapai jika lembaga pendidikan tersebut memiliki kemampuan mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) dengan baik.
Mendasarkan pada berbagai kondisi perubahan yang cepat dan faktor persaingan yang tinggi inilah yang kemudian menghasilkan kosa kata baru dalam ilmu manajemen yang biasa disebut dengan organisasi pembelajar (learning organization). Definisi tentang Organisasi Pembelajar dikemukakan oleh Pedler, Boydell dan Burgoyne (1988). Dengan mendasarkan pada proses kajian literatur, wawancara dan investigasi lain maka organisasi pembelajaran didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus untuk dapat mentransformasi diri. Menurut Pedler, dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajar adalah organisasi yang; 1) mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka, 2) memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan, 3) menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis, dan 4) berada dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus. Tujuan proses transformasi sebagai aktivitas sentral, adalah agar organisasi mampu mencari secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluang-peluang baru untuk pembelajaran, dan mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Lembaga Pendidikan sebagai Organisasi Pembelajar merupakan kumpulan dari individu-individu pembelajar yang ada dalam madrasah. Namun demikian lembaga pendidikan dapat dikatakan sebagai organisasi pembelajar jika lembaga pendidikan tersebut memiliki ciri; 1) lembaga pendidikan tersebut memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya, dan 2) lembaga pendidikan tersebut merupakan organisasi yang siap menghadapi perubahan dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing change).
Dengan demikian terlihat bahwa proses belajar yang ada dalam suatu lembaga pendidikan tersebut bukan sesuatu yang terjadi secara alami, dan juga bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Misalnya, kebetulan dalam suatu lembaga pendidikan berkumpul orang-orang yang senang belajar sehingga kemudian lembaga pendidikan tersebut menjadi organisasi pembelajar. Lembaga pendidikan sebagai organisasi pembelajar merupakan suatu upaya secara sengaja dari Kepala Lembaga pendidikan dan orang-orang di dalam lembaga pendidikan yang memiliki wewenang membuat kebijakan dalam upaya mendorong orang-orang yang ada dalam organisasi untuk selalu mengalami atau melakukan proses belajar. Proses belajar tersebut dilakukan dari Kepala Lembaga pendidikan sampai dengan pekerja paling rendah. Sehingga dengan adanya proses belajar tersebut seluruh SDM di dalam lembaga pendidikan akan selalu mampu membaca berbagai fenomena yang terjadi dalam lembaga pendidikan baik pada lingkup makro maupun mikro. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan orang-orang dalam madrasah tersebut menjadi bersifat adaptif dalam menghadapi perubahan.
Untuk menjadi sebuah organisasi pembelajar, lembaga pendidikan harus mampu mendorong timbulnya suatu kondisi prasyarat yang oleh Peter Senge disebut sebagai lima hal inti dalam pembentukan organisasi pembelajar. Kondisi prasyarat tersebut dirancang dan dilaksanakan secara sistematis oleh madrasah. Kelima hal tersebut adalah:
1. Keahlian Pribadi (Personal Mastery)
2. Model Mental (Mental Model)
3. Visi Bersama (Shared Vision)
4. Pembelajaran Tim (Team Learning)
5. Pemikiran Sistem (System Thinking) (Senge, 1990)
Sementara itu Michael J. Marquardt menambahkan satu kondisi prasyarat lagi yaitu dialog (dialogue). Sedangkan Guthrie menambahkan dan menyempurnakan dengan empat hal, sebagai berikut.
1. Pembelajaran Tim dan Pembelajaran Umum (Public and Team Learning)
2. Bertindak penuh makna dengan memperhitungkan berbagai kemungkinan (Acting in High Level of Ambiguity)
3. Dialog secara umum (Dialogue Generatively)
4. Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing the Organization as an Integrated Whole)
Penguasaan pribadi (Personal Mastery) adalah suatu budaya dan norma organisasi yang diterapkan sebagai cara bagi semua individu dalam organisasi untuk bertindak dan melihat dirinya. Penguasaan pribadi ini mestinya harus sangat dikuasai oleh orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Hal tersebut dikarenakan di lembaga pendidikan kondisi ini dituntut pada semua jenis mata pelajaran untuk mampu menginternalisasikan kecakapan hidup (life skill), didalam kecakapan hidup tersebut salah satu yang harus diinternalisasikan adalah kecakapan mengenal diri sendiri. Tentu saja sangat sulit untuk menginternalisasikan nilai-nilai ini kepada siswa lembaga pendidikan, jika para guru tidak memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri.
Penguasaan pribadi merupakan suatu disiplin yang mestinya harus dimiliki oleh setiap orang yang menginginkan kehidupan yang baik. Dengan penguasaan diri seseorang akan mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Penguasaan diri yang baik akan membentuk kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif. Penguasaan pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan, dan menciptakan suatu lingkungan lembaga pendidikan yang mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri kearah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih.
Model mental (Mental Model) adalah suatu prinsip yang mendasar dari organisasi pembelajar. Model mental adalah suatu aktivitas perenungan yang dilakukan dengan terus menerus mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang, yang dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya. Dalam pembahasan terdahulu model mental ini kemudian menghasilan cara berfikir atau mindset
Untuk mengembangkan lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi pembelajar, lembaga pendidikan harus memiliki suatu sistem yang mampu mengembangkan kecakapan individu di dalam lembaga pendidikan dalam melihat dengan hati. Proses melihat dengan hati tersebut akan menghasilkan kemampuan individu dalam melaksanakan proses perenungan terhadap berbagai paradigma atau mindset yang dimilikinya. Perenungan terhadap paradigma tersebut sangat penting karena, seringkali kesalahan seseorang dalam bertindak diawali karena paradigma yang salah. Lembaga pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan memperbarui paradigma ini, baik melalui proses pelatihan-pelatihan, tetapi akan sangat baik jika melalui kegiatan-kegiatan keteladanan dari para pemimpin lembaga pendidikan.
Visi bersama (Shared Vision) adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan (kegiatan) organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dari keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju. Dengan visi bersama, organisasi dapat membangun komitmen yang tinggi dalam organisasi. Selain itu organisasi dapat pula menciptakan gambaran-gambaran atau mimpi-mimpi bersama tentang masa depan yang ingin dicapai, serta prinsip-prinsip dan praktek-praktek penuntun yang akan digunakan dalam mencapai masa depan tersebut.
Belajar Tim (Team Learning) adalah suatu keahlian percakapan dan keahlian berpikir kolektif dalam organisasi. Kemampuan organisasi untuk membuat individu-individu cakap dalam percakapan dan cakap dalam berfikir kolektif tersebut akan dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan organisasi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kecerdasan organisasi jauh lebih besar dari jumlah kecerdasan-kecerdasan individunya. Untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan individu-individu dalam organisasi yang memiliki emotional intelligence yang tinggi.
Berpikir sistem (Systems Thinking) adalah suatu kerangka kerja konseptual. Yaitu suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi pembelajar, tidak mungkin dapat menerjemahkan disiplin-displin itu kedalam tindakan (kegiatan) organisasi yang lebih luas. Disiplin ini membantu kita melihat bagaimana kita mengubah sistem-sistem secara lebih efektif, dan bertindak lebih selaras dengan proses-proses yang lebih besar dari alam dan dunia ekonomi. Berpikir sistem ini pengertiannya hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh Guthrie tentang Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing organization as integrated whole).
Bertindak penuh makna dengan memperhatikan berbagai kemungkinan (Acting in High Level of Ambiguity). Dalam organisasi pembelajar, setiap individu didorong untuk dapat memanfaatkan seluruh kemampuan dan kecerdasannya untuk menyikapi tantangan yang seringkali rumit dan penuh kemungkinan (ambiguitas). Individu yang mampu menerapkan prinsip ini mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya yang baru sekalipun. Modal utama untuk dapat menerapkan prinsip ini adalah memanfaatkan pengetahuan dan seluruh potensinya tersebut.
Jika pada masa manajemen berdasarkan ilmu pengetahuan (sciencetific management) dan manajemen berbasis keuangan, akan menghasilkan budaya ketelitian dalam organisasi, maka saat manajemen didasarkan pada perancangan dan pembelajaran, akan melahirkan budaya yang menyenangkan dalam berbagai bidang kemungkinan dan perubahan. Komitmen lembaga terhadap budaya dan prinsip ini merupakan bagian penting dari organisasi pembelajar, karena itulah penting untuk menerima fakta bahwa masa mendatang dan struktur organisasi itu sendiri adalah tetap akan terus berubah. Pihak manajemen dan para pegawai harus merasa senang untuk bertindak dalam berbagai kemungkinan yang sulit.
Dialog (Dialogue Generatively) adalah suatu bagian yang fundamental dari organisasi pembelajar. Dalam arti yang sederhana, dialog adalah komunikasi. Ini adalah gabungan dari berbagai interaksi dalam organisasi. Melalui dialog, setiap individu dengan interaktif menggali dan menyelesaikan satu atau seluruh aspek tindakan yang ada dalam organisasi, bagaimanaorang-orang dalam organisasi menerima sistem dan struktur dari organisasi, apa visi organisasi mereka. Dialog merupakan bagian yang penting dari Public Learning. Hanya dengan dialog, individu dapat menggali dengan interaktif berbagai isu yang ada dalam organisasi. Poin penting dari dialog adalah tidak hanya untuk memahami apa yang terjadi dalam organisasi, bagaimana individu mendapatkan pengalaman struktur dan proses dalam organisasi, tapi juga untuk mengarahkan model-model baru, keterbukaan baru, dan tujuan baru untuk mendapatkan tindakan yang lebih efektif dan pemahaman dan keyakinan yang mendalam.
Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing the Organization as an Integrated Whole). Inilah gambaran organisasi sebagai suatu gabungan dari individu-individu yang ada dalam organisasi. Pertama, organisasi harus dilihat sebagai satu kesatuan dari seluruh komponen yang ada dalam organisasi. Melihat gambaran yang lebih besar dari organisasi sebagai keseluruhan yang dinamis adalah sesuatu yang penting untuk memahami bagaimana organisasi bergerak dan bagaimana individu-individu dalam organisasi bergerak. Tindakan para manajer akan berdampak pada budaya organisasi, begitu juga tindakan dari beberapa departemen atau bidang dalam organisasi, akan berdampak pada keseluruhan sistem yang ada pada organisasi. Oleh karena itu, melihat organisasi sebagai satu keseluruhan yang tak terpisahkan merupakan langkah penting untuk memahami organisasi.
Kedua, organisasi harus dilihat sebagai bagian dari sistem sosial dunia, di mana proses dan keluaran merupakan hasil dari faktor jaring sosial yang semuanya bergabung dalam jalan yang kompleks. Jika sebuah organisasi ingin mengetahui usaha yang dapat berpengaruh terhadap keluaran, maka perlu adanya pendekatan yang beragam (multivariative approach) untuk masalah yang dihadapi, dan menerima fakta dari beberapa variabel atau komponen yang berpengaruh walaupun mungkin tidak diperhitungkan sama sekali
. (Sugeng Prabowo)


Posted : Hilmi Husada
hilmihusada.worpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar