Tantangan
terbesar manajer saat ini adalah berkaitan dengan upaya untuk
menghadapi lingkungan yang berubah dengan cepat. Inovasi dari
penemuan-penemuan dalam bidang komunikasi dan dikombinasikan dengan
penemuan dalam bidang komputer dan informasi menghasilkan pasar global
yang membuat dunia tidak sebagaimana pada era sebelumnya. Sebagai hasil,
prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman manajemen yang mampu membuat
organisasi lebih stabil dan dapat diprediksi, tidak dapat lagi
diterapkan dalam kurun waktu yang lama. Kesuksesan organisasi pada saat
ini sangat tergantung pada kemampuan organisasi tersebut untuk belajar
dan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Manajer
organisasi yang sukses adalah orang yang mampu secara efektif
menggunakan kebijaksanaan, memenej organisasi dengan berbasis ilmu
pengetahuan, dan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan.
Disinilah letak pentingnya organisasi pembelajar. Organisasi pembelajar
adalah pengembangan kapasitas organisasi untuk terus belajar,
beradaptasi dan berubah. Perbedaan antara organisasi pembelajar dengan
organisasi tradisional disajikan sebagaimana tabel berikut.
Kedua, organisasi harus dilihat sebagai bagian dari sistem sosial dunia, di mana proses dan keluaran merupakan hasil dari faktor jaring sosial yang semuanya bergabung dalam jalan yang kompleks. Jika sebuah organisasi ingin mengetahui usaha yang dapat berpengaruh terhadap keluaran, maka perlu adanya pendekatan yang beragam (multivariative approach) untuk masalah yang dihadapi, dan menerima fakta dari beberapa variabel atau komponen yang berpengaruh walaupun mungkin tidak diperhitungkan sama sekali . (Sugeng Prabowo)
Posted : Hilmi Husada
|
Organisasi Tradisional
|
Organisasi Pembelajar
|
Sikap Terhadap Perubahan
|
Jika hal itu dapat dikerjakan, mengapa dirubah?
|
Jika kamu tidak berubah,kamu tidak akan bekerja dalam waktu yang lama
|
Sikap terhadap ide-ide baru
|
Tertutup dengan ide-ide baru dari luar
|
Terbuka dengan ide-ide baru dari luar
|
Penanggung jawab inovasi
|
Bagian Penelitian dan Pengembangan
|
Setiap orang didalam organisasi
|
Ketakutan Utama
|
Membuat kesalahan
|
Tidak belajar, tidak akan dapat beradaptasi
|
Daya saing
|
Produk dan Layanan
|
Kemampuan untuk belajar, ilmu pengetahuan dan keahlihan
|
Pekerjaan manajer
|
Mengontrol yang lain
|
Mengijinkan yang lain
|
Jika
menilik dari berbagai kriteria tersebut organisasi pembelajar
merupakan organisasi yang dinamis, organisasi yang mampu memberikan
dorongan dan fasilitas kepada orang-orang di dalam organisasi untuk
selalu meningkatkan kompetensinya. Namun demikian, untuk dapat menjadi
organisasi pembelajar tersebut, organisasi harus mampu merubah cara
pandangnya terhadap berbagai hal. Jika cara pandang tersebut tidak
berubah maka akan sulit bagi organisasi untuk mampu berpindah dari
konsep organisasi tradisional menuju organisasi pembelajar. Cara pandang
yang harus dirubah tersebut meliputi;
Pertama,
konsep tentang stabilitas organisasi, cara pandang ini adalah cara
pandang dimana organisasi harus berjalan sesuai dengan proses yang telah
direncanakan dan sedapat mungkin menghindari berbagai gejolak. Kondisi
ini harus dirubah, bahwa organisasi harus selalu dinamis, karena
perkembangan eksternal yang cepat dan seringkali sulit diprediksikan,
oleh karena itu organisasi harus mampu berubah dengan cepat dalam
berbagai proses kegiatannya.
Kedua,
konsep tentang Birokrasi yang berjenjang, cara pandang ini merujuk
bahwa organisasi harus memiliki stabilitas, oleh karena itu pemimpin
merupakan komando utama dalam organisasi, sehingga seluruh kegiatan
dapat dikendalikan dengan mudah. Konsep ini akan sangat berat dan tidak
lincah untuk menhadapi perubahan yang sangat cepat. Organisasi harus
merubah konsep menjadi kepemimpinan bagi semua orang. Artinya bahwa
semua orang didalam organisasi diberikan keleluasaan untuk mengambil
inisiatif dan bergerak menyelesaikan pekerjaan yang menjadi lingkup dan
tanggung jawabnya tanpa harus menunggu perintah.
Ketiga,
organisasi yang kaku, cara pandang ini merupakan cara pandang yang
mengedepankan keamanan dan kesetabilan, untuk dapat aman dan stabil maka
dibuatlah prosedur organisasi yang berjenjang dan kaku sesuai dengan
prosedur yang ada. Kaku disini dalam artian harus mengikuti prosedur
yang ada, walaupun secara esensial tidak sesuai denga esensi yang ingin
dicapai, atau tidak sesuai dengan harapan dari stekholder yang
berkembang dengan cepat. Kondisi ini tentu akan menghancurkan
organisasi, untuk itu organisasi harus bergeser menjadi lebih fleksibel
dalam prosedur, lebih menitik beratkan pada hal yang esensial, dan
lebih memetingkan pencapaian harapan stakeholder.
Keempat, pengendalian melalui aturan harus dirubah menjadi pengendalian melalui visi dan value.
Pengendalian melalui aturan mengindikasikan bahwa organisasi tersebut
menjalankan organisasinya melalui pengawasan-pengawasan eksternal.
Pengawasan-pengawasan yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Kondisi
ini mengindikasikan bahwa para pekerja tidak memiliki keinginan
sendiri untuk bekerja dengan baik atau para pekerja tidak memiliki
pemahaman yang cukup tentang pentingnya mencapai visi organisasi.
Kondisi ini tentu akan memerlukan tenaga yang besar bagi organisasi,
menyediakan tenaga pengawas untuk mengawasi pekerjaan para pekerja, dan
besarnya biaya kesalahan dari pekerjaan yang telah dilakukan oleh
pekerja. Model pengendalian seperti di atas harus dirubah menjadi
pengendalian melalui visi dan value. Artinya, bahwa para
pekerja harus memahami dengan baik visi dan terinternalisasi dengan
baik nilai-nilai yang ada dalam organisasi. Untuk dapat mencapai hal
tersebut, organisasi harus benar-benar memandang bahwa SDM adalah suatu
aset yang sangat penting. Dengan pandangan tersebut maka SDM harus
menjadi bagian penting organisasi, dengan harapan SDM akan memiliki
pemahaman yang tinggi terhadap organisasinya dan menjalani kegiatan di
organisasinya dengan dijiwai nilai-nilai. Perubahan ini penting, karena
akan berdampak pada tingkat fleksibilitas organisasi, dan efisiensi
organisasi. Jika seluruh karyawan paham dan memiliki komitmen untuk
melaksanakan visinya maka produktifitas organisasi akan sangat tinggi.
Nilai-nilai akan meningkatkan efisiensi organisasi dalam operasional
organisasi, utamanya berkaitan dengan proses pengendalian, karena
dengan terinternalisasinya nilai-nilai organanisasi pada seluruh
karyawan, maka pengawasan tidak terlalu penting untuk dilakukan, karena
para karyawan berkerja dengan dikendalikan oleh nilai-nilai yang ada
dalam dirinya sendiri. Dan karena dalam bekerjanya karyawan
dikendalikan oleh nilai-nilai yang ada dalam organisasi, maka kesalahan
dalam bekerja akan menjadi kecil.
Kelima, organisasi harus merubah paradigmanya dari informasi yang tertutup dan dirahasikan menjadi organisasi melakukan sharing informasi.
Organisasi tradisional sering kali beranggapan bahwa atasan harus
lebih pandai daripada bawahan, oleh karena itu informasi hanya dimiliki
oleh atasan sehingga bawahan hanya menerima informasi-informasi dari
atasan. Selain itu seringkali pada organisasi tradisional, informasi
dianggap akan dapat merusak kestabilan organisasi, oleh karena itu,
organisasi harus membatasi informasi hanya bagi orang-orang tertentu
saja. Model seperti ini harus berubah jika organisasi menginginkan
untuk menjadi organisasi pembelajar. Pada organsasi pembelajar
paradigma berfikirnya dibalik, bahwa seluruh karyawan harus pandai,
oleh karena itu informasi harus disebarluaskan. Dengan bawahan yang
pandai maka banyak pekerjaan bisa didistribusikan dan manajer dapat
mencari atau mengembangkan atau menangani pekerjaan-pekerjaan baru atau
pekerjaan-pekerjaan yang masih meiliki masalah. Dengan informasi yang
terbagi juga diharapkan akan mampu mendorong kedinamisan organisasi,
dan kemampuan semua orang dalam organisasi untuk membuat keputusan
sesuai dengan kapasitasnya dalam organisasi.
Keenam,
untuk masa-masa awal tahun 1900 sampai dengan 20 tahun yang lalu,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam bidang
informasi dan komputer, belum secapat sebagaimana yang terjadi saat ini.
Perubahan tersebut ternyata memicu pergerakan yang cepat pada
ilingkungan eksternal organisasi. Dengan perkembangan ini ketidak
pastian dalam kondisi semakin tinggi. Kondisi ini harus merubah
paradigma organisasi dari hanya menerima yang pasti menjadi juga
menerima sesuatu yang meragukan. Kondisi meragukan dalam artian belum
tentu arah dan tujuannya. Dengan kondisi ini seringkali keputusan tidak
dapat diambil, oleh karena itu manajer pada organisasi pembelajar harus
memiliki kemampuan memprediksi yang bagus dan memiliki keberanian
untuk menanggung resiko dari adanya kondisi yang tidak pasti tersebut.
Ketujuh,
adalah kelanjutan dari paradigma keenam, karena ketidakpastian yang
tinggi, paradigma organisasi harus bergeser dari reaktif menghindari
resiko, menjadi proaktif dan berani menanggung resiko. Manajemen reaktif
merupakan gaya manajemen tradisional yang hanya akan bergerak jika ada
masalah, dan yang dilakukan adalah menghindari masalah. Manajemen pada
organisasi pembelajar, mengerjakan sesuatu dengan terencana,
pengambilan inisiatif menjadi hal yang paling diutamakan, oleh karena
itu bagi orang yang proaktif, resiko adalah sesuatu yang harus
dihadapi. Namun demikian, dengan inisiatif tersebut organisasi akan
memiliki keunggulan kompetitif, karena ketika organisasi lain masih
diam organisasi pembelajar sudah mengambil tindakan, mungkin ada
kemungkinan salah, namun dengan kesalahannya orang akan lebih cepat
mengetahui yang benar, dibandingkan menunggu dan diam.
Kedelapan,
organisasi tradisional berfokus pada internal organisasi, kondisi ini
sangat tidak sesuai jika digunakan untuk mengatasi berbagai persoalan
yang berkembang pada saat ini. Organisasi yang berfokus pada internal,
harus mampu berubah menjadi organisasi yang berfokus pada lingkungan
kompetitif. Dengan berfokus pada lingkungan kompetitif, maka organisasi
harus benar-benar mengetahui kebutuhan dan harapan stakeholder. Upaya
untuk mengetahui kebutuhan dan harapan stakeholder ini menjadi sangat
penting dalam upaya memenangkan persaingan dari para kompetitor lainnya.
Kesembilan,
organisasi tradisional memiliki keunggulan dalam bertahan. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa, organisasi tradisional kurang memiliki
kemampuan dalam berinovasi, dan cenderung bersikap menunggu. Organisasi
pembelajar, lebih bersifat inovatif dengan keunggulan kompetitif yang
berubah-ubah. Hal tersebut karena organisasi pembelajar selalu
mendorong SDMnya untuk melakukan proses belajar. Dengan belajar
tersebut kemudian diharapkan akan mampu menemukan berbagai karya
inovatif, yang pada akhirnya akan mampu mendorong organisasi untuk
memiliki keunggulan kompetitif dengan fleksibilitas sesuai dengan
perkembangan lingkungan eksternal.
Kesepuluh,
organisasi harus mampu berubah dari bersaing pada pasar yang ada
menuju persaingan ke masa depan yang kontemporer. Dengan berbagai
inovasi yang dikembangkannya, organisasi pembelajar diharapkan mampu
mengembangkan produk-produk baru dengan pasar yang berbeda. Dengan
membuka pasar-pasar baru tersebut faktor ketatnya persaingan pada pasar
konvensional dapat dihindarkan.
Kesepuluh faktor tersebut secara singkat dapat disajikan sebagaimana tabel berikut:
Nos
|
Konsep Organisasi Tradisional
|
Konsep Organisasi Pembelajar
|
1
|
Stabilitas
|
Perubahan yang tidak berkesudahan
|
2
|
Hirarkhis Birokratis
|
Kepemimpinan dari setiap orang
|
3
|
Organisasi yang kaku
|
Fleksibilitas
|
4
|
Pengendalian melalui aturan
|
Pengendalian melalui visi dan value
|
5
|
Informasi yang tertutup
|
Informasi yang disebarluaskan
|
6
|
Menerima hanya pada hal-hal yang pasti
|
Menerima keraguan
|
7
|
Reaktif dan menghindari resiko
|
Proaktif, dan keberanian menanggung resiko
|
8
|
Berfokus ke internal organisasi
|
Berfokus pada lingkungan kompetitif
|
9
|
Keunggulan bertahan
|
Keunggulan kompetitif yang berubah
|
10
|
Bersaing pada pasar yang ada
|
Bersaing pada pasar masa depan yang kontemporer
|
Organisasi Pembelajar pada Lembaga Pendidikan
Dalam
kasus kondisi pendidikan di Indonesia, perubahan tersebut dapat
dilihat pada berbagai hal, mulai dari kebijakan penyelenggaraan dari
pemerintah, sampai dengan perubahan sebagai hasil perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan sebagai akibat kebijakan pemerintah
misalnya, perubahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem
desentralisasi sehingga muncul model Manajemen Berbasis Madrasah (MBM),
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM). Perubahan pola
pengelolaan, sehingga muncul Komite Madrasah, Dewan Pendidikan, Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan, dan lain-lain. Perubahan yang berkaitan
dengan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya perubahan dalam
proses pembelajaran, sehingga menghasilkan teori pembelajaran quantum (quantum teaching/ learning), pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran kontekstual (contextual teaching learning). Perubahan dalam manajemen misalnya Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), penggunaan alat analisis Balance Scorecard, dan lain-lain.
Berbagai perubahan pada dekade terakhir ini digambarkan oleh banyak ahli manajemen sebagai suatu turbulent
(angin kencang yang berubah arah), sehingga kondisi tersebut seringkali
membawa korban. Dalam iklim makro organisasi yang sangat cepat
mengalami perubahan tersebut, ditambah dengan iklim kompetisi antar
organisasi yang semakin kuat menuntut organisasi apapun untuk selalu
mampu mengalami perubahan dan persaingan. Lembaga pendidikan harus mampu
berkompetisi dengan sesama, juga harus mampu berkompetisi dengan
lembaga pendidikan lain,
bahkan harus mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga kursus dan
dunia kerja. Untuk mampu berkompetisi tersebut lembaga pendidikan harus
mampu melihat berbagai kebutuhan dan harapan stakeholder. Namun sama
dengan lembaga pendidikan yang lain stakeholder lembaga pendidikan
bukanlah stakeholder tunggal, namun memiliki berbagai stakeholder,
walaupun stakeholder-stakeholder tersebut masih dapat diurutkan tingkat
kepotensialannya.
Upaya
untuk selalu memenuhi kebutuhan dan harapan stakeholder inilah yang
kemudian menuntut lembaga pendidikan untuk meningkakan mutu layanan dan
produknya. Namun sayangnnya, kebutuhan dan harapan stakeholder bukanlah
merupakan sesuatu yang bersifat statis, namun bersifat dinamis, bahkan
seringkali perubahannya berlangsung sangat cepat dan tidak berpola.
Kondisi ini tentu akan sangat memukul lembaga pendidikan, jika lembaga
pendidikan tersebut tidak memiliki kemampuan untuk berubah dan
menyesuaikan diri dengan cepat. Dengan kata lain,untuk dapat selalu
menjaga mutu produk dan layanannya lembaga pendidikan juga harus
memiliki kemampuan untuk selalu berubah menyesuaikan diri dengan kondisi
makro yang berkembang. Lembaga pendidikan yang memiliki kemampuan dan
kelenturan untuk berubah tersebut hanya dapat dicapai jika lembaga
pendidikan tersebut memiliki kemampuan mengelola Sumber Daya Manusia
(SDM) dengan baik.
Mendasarkan
pada berbagai kondisi perubahan yang cepat dan faktor persaingan yang
tinggi inilah yang kemudian menghasilkan kosa kata baru dalam ilmu
manajemen yang biasa disebut dengan organisasi pembelajar (learning organization).
Definisi tentang Organisasi Pembelajar dikemukakan oleh Pedler,
Boydell dan Burgoyne (1988). Dengan mendasarkan pada proses kajian
literatur, wawancara dan investigasi lain maka organisasi pembelajaran
didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran
dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus untuk dapat mentransformasi diri. Menurut Pedler, dkk (Dale, 2003) suatu organisasi pembelajar adalah organisasi yang; 1) mempunyai suasana dimana anggota-anggotanya secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka, 2) memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan, 3) menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis, dan 4) berada
dalam proses transformasi organisasi secara terus menerus. Tujuan
proses transformasi sebagai aktivitas sentral, adalah agar organisasi
mampu mencari secara luas ide-ide baru, masalah-masalah baru dan
peluang-peluang baru untuk pembelajaran, dan mampu memanfaatkan
keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif.
Lembaga
Pendidikan sebagai Organisasi Pembelajar merupakan kumpulan dari
individu-individu pembelajar yang ada dalam madrasah. Namun demikian
lembaga pendidikan dapat dikatakan sebagai organisasi pembelajar jika
lembaga pendidikan tersebut memiliki ciri; 1) lembaga
pendidikan tersebut memberikan kesempatan dan mendorong setiap
individu yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut untuk terus belajar
dan memperluas kapasitas dirinya, dan 2) lembaga pendidikan tersebut merupakan organisasi yang siap menghadapi perubahan dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing change).
Dengan demikian terlihat bahwa proses belajar yang ada dalam suatu lembaga pendidikan
tersebut bukan sesuatu yang terjadi secara alami, dan juga bukan
sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Misalnya, kebetulan dalam suatu lembaga pendidikan berkumpul orang-orang yang senang belajar sehingga kemudian lembaga pendidikan tersebut menjadi organisasi pembelajar. Lembaga pendidikan sebagai organisasi pembelajar merupakan suatu upaya secara sengaja dari Kepala Lembaga pendidikan dan orang-orang di dalam lembaga pendidikan
yang memiliki wewenang membuat kebijakan dalam upaya mendorong
orang-orang yang ada dalam organisasi untuk selalu mengalami atau
melakukan proses belajar. Proses belajar tersebut dilakukan dari Kepala Lembaga pendidikan sampai dengan pekerja paling rendah. Sehingga dengan adanya proses belajar tersebut seluruh SDM di dalam lembaga pendidikan akan selalu mampu membaca berbagai fenomena yang terjadi dalam lembaga pendidikan
baik pada lingkup makro maupun mikro. Kondisi inilah yang kemudian
menyebabkan orang-orang dalam madrasah tersebut menjadi bersifat adaptif
dalam menghadapi perubahan.
Untuk menjadi sebuah organisasi pembelajar, lembaga pendidikan
harus mampu mendorong timbulnya suatu kondisi prasyarat yang oleh Peter
Senge disebut sebagai lima hal inti dalam pembentukan organisasi
pembelajar. Kondisi prasyarat tersebut dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis oleh madrasah. Kelima hal tersebut adalah:
1. Keahlian Pribadi (Personal Mastery)
2. Model Mental (Mental Model)
3. Visi Bersama (Shared Vision)
4. Pembelajaran Tim (Team Learning)
5. Pemikiran Sistem (System Thinking) (Senge, 1990)
Sementara itu Michael J. Marquardt menambahkan satu kondisi prasyarat lagi yaitu dialog (dialogue). Sedangkan Guthrie menambahkan dan menyempurnakan dengan empat hal, sebagai berikut.
1. Pembelajaran Tim dan Pembelajaran Umum (Public and Team Learning)
2. Bertindak penuh makna dengan memperhitungkan berbagai kemungkinan (Acting in High Level of Ambiguity)
3. Dialog secara umum (Dialogue Generatively)
4. Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing the Organization as an Integrated Whole)
Penguasaan pribadi (Personal Mastery)
adalah suatu budaya dan norma organisasi yang diterapkan sebagai cara
bagi semua individu dalam organisasi untuk bertindak dan melihat
dirinya. Penguasaan pribadi ini mestinya harus sangat dikuasai oleh
orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Hal tersebut dikarenakan di lembaga pendidikan kondisi ini dituntut pada semua jenis mata pelajaran untuk mampu menginternalisasikan kecakapan hidup (life skill),
didalam kecakapan hidup tersebut salah satu yang harus
diinternalisasikan adalah kecakapan mengenal diri sendiri. Tentu saja
sangat sulit untuk menginternalisasikan nilai-nilai ini kepada siswa lembaga pendidikan, jika para guru tidak memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri.
Penguasaan
pribadi merupakan suatu disiplin yang mestinya harus dimiliki oleh
setiap orang yang menginginkan kehidupan yang baik. Dengan penguasaan
diri seseorang akan mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang
tidak perlu dilakukan. Penguasaan diri yang baik akan membentuk
kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi,
memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas
secara obyektif. Penguasaan pribadi juga merupakan kegiatan belajar
untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang
paling kita inginkan, dan menciptakan suatu lingkungan lembaga pendidikan yang mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri kearah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih.
Model mental (Mental Model)
adalah suatu prinsip yang mendasar dari organisasi pembelajar. Model
mental adalah suatu aktivitas perenungan yang dilakukan dengan terus
menerus mengklarifikasikan dan memperbaiki gambaran-gambaran internal
kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan
keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang
berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan
tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan
suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu
untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang
dihadapinya. Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai
konsep diri seseorang, yang dengan konsep diri tersebut dia akan
mengambil keputusan terbaiknya. Dalam pembahasan terdahulu model mental ini kemudian menghasilan cara berfikir atau mindset
Untuk mengembangkan lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi pembelajar, lembaga pendidikan harus memiliki suatu sistem yang mampu mengembangkan kecakapan individu di dalam lembaga pendidikan
dalam melihat dengan hati. Proses melihat dengan hati tersebut akan
menghasilkan kemampuan individu dalam melaksanakan proses perenungan
terhadap berbagai paradigma atau mindset yang
dimilikinya. Perenungan terhadap paradigma tersebut sangat penting
karena, seringkali kesalahan seseorang dalam bertindak diawali karena
paradigma yang salah. Lembaga pendidikan
harus mampu mengembangkan kemampuan memperbarui paradigma ini, baik
melalui proses pelatihan-pelatihan, tetapi akan sangat baik jika melalui
kegiatan-kegiatan keteladanan dari para pemimpin lembaga pendidikan.
Visi bersama (Shared Vision)
adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan (kegiatan)
organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dari
keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju. Dengan visi bersama,
organisasi dapat membangun komitmen yang tinggi dalam organisasi.
Selain itu organisasi dapat pula menciptakan gambaran-gambaran atau
mimpi-mimpi bersama tentang masa depan yang ingin dicapai, serta
prinsip-prinsip dan praktek-praktek penuntun yang akan digunakan dalam
mencapai masa depan tersebut.
Belajar Tim (Team Learning)
adalah suatu keahlian percakapan dan keahlian berpikir kolektif dalam
organisasi. Kemampuan organisasi untuk membuat individu-individu cakap
dalam percakapan dan cakap dalam berfikir kolektif tersebut akan dapat
meningkatkan kecerdasan dan kemampuan organisasi. Dengan kata lain
dapat dinyatakan bahwa kecerdasan organisasi jauh lebih besar dari
jumlah kecerdasan-kecerdasan individunya. Untuk mencapai kondisi
tersebut dibutuhkan individu-individu dalam organisasi yang memiliki emotional intelligence yang tinggi.
Berpikir sistem (Systems Thinking)
adalah suatu kerangka kerja konseptual. Yaitu suatu cara dalam
menganalisis dan berpikir tentang suatu kesatuan dari keseluruhan
prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Tanpa kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin organisasi pembelajar,
tidak mungkin dapat menerjemahkan disiplin-displin itu kedalam
tindakan (kegiatan) organisasi yang lebih luas. Disiplin ini membantu
kita melihat bagaimana kita mengubah sistem-sistem secara lebih
efektif, dan bertindak lebih selaras dengan proses-proses yang lebih
besar dari alam dan dunia ekonomi. Berpikir sistem ini pengertiannya
hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh Guthrie tentang Melihat
organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing organization as integrated whole).
Bertindak penuh makna dengan memperhatikan berbagai kemungkinan (Acting in High Level of Ambiguity). Dalam organisasi pembelajar,
setiap individu didorong untuk dapat memanfaatkan seluruh kemampuan
dan kecerdasannya untuk menyikapi tantangan yang seringkali rumit dan
penuh kemungkinan (ambiguitas). Individu yang mampu menerapkan prinsip
ini mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya yang baru
sekalipun. Modal utama untuk dapat menerapkan prinsip ini adalah
memanfaatkan pengetahuan dan seluruh potensinya tersebut.
Jika pada masa manajemen berdasarkan ilmu pengetahuan (sciencetific management)
dan manajemen berbasis keuangan, akan menghasilkan budaya ketelitian
dalam organisasi, maka saat manajemen didasarkan pada perancangan dan
pembelajaran, akan melahirkan budaya yang menyenangkan dalam berbagai
bidang kemungkinan dan perubahan. Komitmen lembaga terhadap budaya dan
prinsip ini merupakan bagian penting dari organisasi pembelajar,
karena itulah penting untuk menerima fakta bahwa masa mendatang dan
struktur organisasi itu sendiri adalah tetap akan terus berubah. Pihak
manajemen dan para pegawai harus merasa senang untuk bertindak dalam
berbagai kemungkinan yang sulit.
Dialog (Dialogue Generatively) adalah suatu bagian yang fundamental dari organisasi pembelajar.
Dalam arti yang sederhana, dialog adalah komunikasi. Ini adalah
gabungan dari berbagai interaksi dalam organisasi. Melalui dialog,
setiap individu dengan interaktif menggali dan menyelesaikan satu atau
seluruh aspek tindakan yang ada dalam organisasi, bagaimanaorang-orang dalam organisasi menerima sistem dan struktur dari organisasi, apa visi organisasi mereka. Dialog merupakan bagian yang penting dari Public Learning.
Hanya dengan dialog, individu dapat menggali dengan interaktif
berbagai isu yang ada dalam organisasi. Poin penting dari dialog adalah
tidak hanya untuk memahami apa yang terjadi dalam organisasi,
bagaimana individu mendapatkan pengalaman struktur dan proses dalam
organisasi, tapi juga untuk mengarahkan model-model baru, keterbukaan
baru, dan tujuan baru untuk mendapatkan tindakan yang lebih efektif dan
pemahaman dan keyakinan yang mendalam.
Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing the Organization as an Integrated Whole).
Inilah gambaran organisasi sebagai suatu gabungan dari
individu-individu yang ada dalam organisasi. Pertama, organisasi harus
dilihat sebagai satu kesatuan dari seluruh komponen yang ada dalam
organisasi. Melihat gambaran yang lebih besar dari organisasi sebagai
keseluruhan yang dinamis adalah sesuatu yang penting untuk memahami
bagaimana organisasi bergerak dan bagaimana individu-individu dalam
organisasi bergerak. Tindakan para manajer akan berdampak pada budaya
organisasi, begitu juga tindakan dari beberapa departemen atau bidang
dalam organisasi, akan berdampak pada keseluruhan sistem yang ada pada
organisasi. Oleh karena itu, melihat organisasi sebagai satu keseluruhan
yang tak terpisahkan merupakan langkah penting untuk memahami
organisasi.Kedua, organisasi harus dilihat sebagai bagian dari sistem sosial dunia, di mana proses dan keluaran merupakan hasil dari faktor jaring sosial yang semuanya bergabung dalam jalan yang kompleks. Jika sebuah organisasi ingin mengetahui usaha yang dapat berpengaruh terhadap keluaran, maka perlu adanya pendekatan yang beragam (multivariative approach) untuk masalah yang dihadapi, dan menerima fakta dari beberapa variabel atau komponen yang berpengaruh walaupun mungkin tidak diperhitungkan sama sekali . (Sugeng Prabowo)
Posted : Hilmi Husada
hilmihusada.worpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar